Hakikat Musibah Banjir dan Longsor Dari perspektif teologi Islam


 

RIN - Kabar duka dikabarkan dari kabupaten bandung barat mengenai banjir bandang yang melanda beberapa desa di dua kecamatan. Bahkan merembet kepada terjadinya longsor, karena secara sains, perubahan natural alam menjadi pemicu kejadian tersebut dimana ketersediaan pohon sebagai penahan air mengalami penurunan sehingga menimbulkan erosi. Sungguh diluar dugaan, karena dalam semalam, dampak dari musibah tersebut kerugian tidak hanya didapatkan dari segi material saja namun sudah secara komprehensif. Adagium mengatakan 'tidak ada asap kalau tidak ada api' hal itu menjadi parameter dalam perspektif teologi Islam.


Hujan merupakan karunia Allah bagi manusia, sehingga dengannya ada efek yang dirasakan dengan timbulnya kesuburan dibidang perkembangan pertanian, perkebunan, kehutanan serta kebutuhan primer lainnya. Kontekstualnya Allah berfirman :


فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاء بِمَاء مُّنْهَمِرٍ { } وَفَجَّرْنَا الْأَرْضَ عُيُونًا فَالْتَقَى الْمَاء عَلَى أَمْرٍ قَدْ قُدِرَ


“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air maka bertemulah air-air itu untuk satu urusan yang sungguh telah ditetapkan.” (QS. Al Qamar: 11-12).



Dengan demikian kita semua tentu sangat berharap agar hujan yang Allah turunkan menjadi rahmat dan bukan adzab. Sebagaimana ayat tersebut diatas. Namun tidak semua harapan bisa menjadi realita. Hujan yang kita harapkan menjadi rahmat, ternyata justru menjadi tentara Allah yang siap menghukum kita, dan menjadi azab bagi mereka yang durhaka. Hujan bak pisau bermata dua, bisa menguntungkan dan sekaligus bisa merugikan.

Tentunya anda masih ingat peristiwa yang pernah terjadi di zaman Nabi Nuh ‘alaihis salam. Bagaimana Allah membalas keangkuhan umat Nuh dengan hujan dan air yang berlimpah. Di saat itulah, tidak ada yang bisa menyelamatkan diri, selain mereka yang Allah rahmati.


وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَب مَّعَنَا وَلاَ تَكُن مَّعَ الْكَافِرِينَ { } قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاء قَالَ لاَ عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللّهِ إِلاَّ مَن رَّحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ


“Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir. Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata: “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang”. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (QS. Hud: 42-43)


Lantas, apa penyebab banjir dan dampak kerusakannya ?


Ayat yang sering didengungkan ketika terjadi musibah, adalah firman Allah di surat Ar-Rum:


ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ


“Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan, disebabkan perbuatan tangan-tangan manusia. Agar Allah merasakan sebagian dari perbuatan yang mereka lakukan, supaya mereka kembali.” (QS. Ar-Rum: 41).


Ada satu hal yang telah menjadi mindset hampir semua orang terkait ayat ini, tafsir ‘perbuatan tangan-tangan manusia’ hanya terbatas pada sikap manusia yang tidak ramah terhadap lingkungan. Mereka menyimpulkan bahwa banjir, atau bencana apapun bentuknya, disebabkan sikap manusia yang tidak disiplin dalam mengelola lingkungan. Di saat banjir mulai melanda, rame-rame orang menyalahkan buang sampah sembarangan, infrastruktur yang kurang diperhatikan pemerintah, eksploitasi alam yang tidak terkontrol, dst…


Setelah memahami hal ini, dan dengan adanya musibah banjir, selayaknya kita berusaha untuk semakin dekat dengan Allah. Memohon ampunan kepada-Nya seraya berharap agar Dia segera melepaskan kaum muslimin dari musibah ini.


قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَاباً مِنْ فَوْقِكُمْ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعاً وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ انْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الْآياتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ * وَكَذَّبَ بِهِ قَوْمُكَ وَهُوَ الْحَقُّ قُلْ لَسْتُ عَلَيْكُمْ بِوَكِيلٍ * لِكُلِّ نَبَأٍ مُسْتَقَرٌّ وَسَوْفَ تَعْلَمُونَ


Katakanlah: “Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya)”. Dan kaummu mendustakannya (azab) padahal azab itu benar adanya. Katakanlah: “Aku ini bukanlah orang yang diserahi mengurus urusanmu”. Untuk setiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul) ada (waktu) terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui.” (QS. Al-An’am: 65 – 67). Allahu a’lam. (Yusuf)

Posting Komentar

0 Komentar