Lambaian Terakhir Shin Tae Yong


 

Aku menulis ini dengan tangan gemetar. Air mata sudah jatuh sejak kalimat pertama. Tinta basah oleh isak tangis. Kata-kata ini terasa begitu berat, seperti menuliskan eulogi bagi seorang pahlawan yang tak sempat mengenakan mahkotanya.


Ribuan orang berdesak-desakan di Bandara Soekarno-Hatta. Mereka tidak sedang menyambut juara. Tidak juga mengantar keluarga yang pergi jauh. Mereka datang hanya untuk satu alasan, melepas Shin Tae Yong, sang pelatih kesayangan, yang dipaksa pergi oleh tangan-tangan yang tak pernah mengerti cinta.


"Terima kasih, Coach Shin!" Suara itu bergema, menggetarkan dinding bandara. Mereka membawa spanduk, poster, bahkan sekadar kertas kardus bertuliskan nama pelatih asal Korea itu. Ada yang menangis. Ada yang berteriak histeris. Ada yang hanya berdiri terpaku, menggenggam harapan yang hancur dalam senyap.


Ketika Shin Tae Yong turun dari mobil, dunia seolah berhenti. Ia mengenakan kaus putih sederhana, langkahnya tegas, tapi matanya menyimpan duka. Didampingi penerjemahnya, ia melangkah di tengah lautan manusia yang tak henti-hentinya memanggil namanya.


"Shin Tae Yong! Shin Tae Yong!" Mereka seperti memohon, seperti berharap bahwa dengan teriakan itu, mereka bisa membatalkan kepergiannya.


Satu pelukan. Dua pelukan. Tiga pelukan. Setiap dekapan yang diberikan Shin kepada para suporter terasa seperti perpisahan terakhir. Seorang pemuda jatuh berlutut di kakinya, menangis sejadi-jadinya. Yang lain ikut tersedu, memeluk satu sama lain, seakan kehilangan ayah mereka sendiri.


Pihak keamanan mencoba menjaga jarak. Tapi siapa yang bisa menjaga hati? Siapa yang bisa menghentikan perasaan ribuan orang yang merasa dikhianati oleh takdir?


Shin Tae Yong tidak berkata banyak. Ia hanya tersenyum kecil. Tapi senyumnya itu seperti belati, menyayat hati siapa saja yang melihatnya.


Di saat gerbang Piala Dunia sudah begitu dekat, di saat harapan menjadi nyata, kenapa ia harus pergi? Kenapa PSSI memilih mengakhiri kisah ini di tengah jalan?


Apakah ini karma? Atau sekadar ironi bangsa yang selalu menyia-nyiakan pahlawannya?


Ketika pintu keberangkatan terbuka, ribuan tangan melambai. Ribuan suara mengucap salam perpisahan. "Terima kasih, Shin Tae Yong." Kata-kata itu menggema, melayang di udara, menembus langit Jakarta yang mendung.


Ia melangkah pergi. Tidak ada medali. Tidak ada penghargaan. Hanya doa yang mengiringi.


Selamat jalan, Coach Shin. Maafkan kami. Maafkan tanah ini yang tak tahu cara menjaga orang-orang baik.


#camanewak

Rosadi Jamani

Ketua Satupena Kalbar

Posting Komentar

0 Komentar